Saat proses penyusunan Undang-Undang Cipta Kerja, DPR tak ubahnya tukang mebel yang mengerjakan pesanan lemari kayu dari pemerintah. Hal itu karena DPR hanya bekerja berdasarkan pemesan, mengabaikan model pembanding, dan tunduk pada tenggat yang ditentukan juragannya.
Penyusunan UU Cipta Kerja juga terkesan terburu-buru. Hal itu terbukti ketika DPR masih mengutak-atik draf yang sudah disahkan. Sehingga jumlah halaman draf yang tersebar luas pun berubah-ubah.
Tak heran, undang-undang yang diketok DPR pada 5 Oktober 2020 mengandung cacat bawaan. Pasal-pasal di dalamnya memungkinkan kembalinya kekuasaan eksekutif yang sentralistik, menghamba pada kekuatan pemodal, membuat kepentingan pekerja menjadi marginal, serta mengabaikan isu lingkungan.
Mulusnya pembahasan omnibus law di Senayan sebenarnya sudah bisa diprediksi. Sebanyak 74 persen anggota Dewan merupakan bagian dari koalisi pendukung pemerintah. Besarnya gerbong koalisi pemerintah di Dewan membuat mekanisme checks and balances hampir mustahil terjadi.
Sekadar meminta warga yang tak setuju untuk menguji UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi seakan mengecilkan besarnya kekecewaan publik. Kita tahu, DPR telah lebih dulu memberikan gula-gula kepada para hakim konstitusi lewat revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Sehingga upaya itu dikhawatirkan akan jadi sia-sia.