Ide memunculkan kembali pilkada tidak langsung berawal ketika Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian melontarkan pernyataan untuk mengevaluasi pilkada langsung. Dia beralasan biaya pemilihan kepala daerah cukup tinggi.
"Bupati kalau enggak punya Rp 30 M, gak akan berani. Wali Kota dan Gubernur lebih tinggi lagi. Kalau dia bilang gak bayar, 0 persen, saya mau ketemu orangnya," ujar Tito dalam rapat bersama Komite I DPD di Kompleks Parlemen, Senayan pada 18 November 2019.
Wacana pilkada tak langsung ini kemudian direspon sejumlah politikus. Ada partai yang mendukung, adapula yang menolak. Beberapa partai yang mendukung bahkan mendorong agar pilkada dilakukan oleh DPR. Sikap ini tentu akan mengubur semangat demokrasi selama ini.
Lalu, mengapa sistem pemilihan kepala daerah ingin didorong ke sistem pilkada tidak langsung? Siapa yang paling diuntungkan dari mekanisme pilkada tidak langsung? Bagaimana redaksi Tempo menyikapi kepala daerah hasil pilkada langsung selama ini? Simak ulasannya di podcast Apa Kata Tempo episode “Jangan Kubur Pilkada Langsung”.
Baca juga laporan lengkapnya di Majalah Tempo edisi ini.